Pada suatu malam yang sepi seperti malam-malam sebelumnya, tiba-tiba saudara datang ke rumah. Tak seperti biasanya, dia datang untuk mengundangku agar ikut acara wisudanya besok pagi. Yah, syukur lah saudara masih mau mengundangku. Aku mengiyakan saja, tapi kalau tidak ada acara lain yang lebih penting tentunya.
Malam itu sebelum tidur, aku sebenarnya agak malas ikut ke acara wisuda. Yang ku bayangkan adalah cuaca panas karena aku pasti bakal menunggu di luar gedung, belum lagi lamanya acara yang pasti membuatku bosan. Mau nggak ikut, tapi udah mengiyakan. Rasanya aku harus menemukan acara penting lain yang bisa menggugurkan kehadiranku di acara wisuda itu.
Tapi sampai pagi hari setelah aku bangun, semua rencana yang coba ku buat gagal semua. Hmm, mau tidak mau aku harus tetap menghadiri acara wisuda itu. Namanya saudara yah, kalau nggak datang nanti dikira kenapa-kenapa kan repot.
Acara dimulai jam 8 pagi, tapi aku datang jam 10 karena sudah paham kalau acara wisuda banyak sambutan-sambutan gitu. Sesampainya di gedung wisuda, aku kumpul sama saudara yang juga menghadiri acaranya. Mereka berpakaian rapi dan wangi, sementara aku cuma memakai kaos oblong dengan celana pensil dan sendal. Diketawain monggo aja, toh inilah aku apa adanya.
Satu jam nunggu nggak rampung-rampung, mana cuaca rasanya semakin panas aja. Akhirnya aku iseng jalan-jalan ke dalam kampus. Kebetulan gedung wisuda memang ada di kawasan kampus jadi bisa jalan-jalan ke dalamnya. Masuk ke dalam dan rasanya begitu sepi, sepertinya perkuliahan hari ini memang diliburkan karena ada acara.
Hampir semua jalan di dalam kampus ku lewati, mungkin hanya satu dua mahasiswa yang nongkrong dan tak ku temui keramaian sama sekali. Hingga akhirnya aku sampai di ujung jalan dan mendapati seorang mahasiswi tengah terduduk lesu di pojokan. Wajahnya terlihat suram dan mengabaikan kehadiranku. Aku yakin aja ini bukan hantu, ya masa hantu minum cola.
Iseng aja aku berhenti di dekatnya, lihat kanan-kiir memperhatikan bagian belakang kampus yang masih berupa rumput ilalang tidak terawat. Aku sebenarnya ingin bertanya, tapi bingung memulainya darimana. Takutnya dicuekin atau malah dimarahin, kan enggak banget.
Sepertinya keraguanku ini juga dirasakan oleh mahasiswi ini, kebetulan banget dia yang malah bertanya duluan.
Mahasiswi : "nyari apa bang?"
Aku : "ah nggak kok. jalan-jalan aja sih, nungguin wisuda nggak selesai-selesai jadi bosen."
Mahasiswi : "oh."
Aku : "nggak ikut acaranya neng? kayaknya rame banget tuh."
Mahasiswi : "males."
Aku : "kenapa males, masih muda gak boleh males-malesan"
Mahasiswi : "males aja sih, melihat temen seangkatan pada wisuda, sementara aku masih gagal"
Aku : "oh, begitu. ikut gelombang berikutnya aja"
Mahasiswi : " gatau ah bang, udah males ngurusin skripsi"
Aku : "yee jangan gitu juga kali"
Dia terdiam, sepertinya aku terlalu menekannya dengan berbagai pertanyaan dan perkataan yang membuatnya semakin bete aja. Aku udah gak enak dan berniat untuk pergi aja.
Aku : " ya udah neng, malah jadi ganggu. Pergi dulu yee"
Mahasiswi : "kamu gak tau si bang gimana keadaaanku. gimana keluargaku. aku merasa gagal"
Aku : "halah gatau, yang jelas kamu itu gak bersyukur aja sama keadaan"
Mahasiwi : "maksudnya apa si bang?!"
Dia melotot kepadaku, sepertinya dia marah dengan jawabanku. Tapi aku cuma tersenyum, dan hendak berlalu. Dia memanggilku dan seakan meminta penjelasanku tentang jawaban yang membuatnya jengkel itu.
Aku : " nih catat nomorku aja, ntar ku jelasin panjang lebar biar kamu tahu."
Mahasiswi : "mana buruan sini"
Setelah dia mencatat nomorku, aku segera berlalu dan bergabung dengan keluarga besar untuk memberikan ucapan selamat atas diwisudanya saudaraku.
Acara selesai, kami pulang ke rumah masing-masing. Aku memeriksa hape dan mendapati banyak pesan dari temanku. Semua ku balas satu per satu. Dan ternyata, ada satu pesan baru yang cukup membuatku tertarik. Sepertinya dari mahasiswi tadi yang ku temui.
Dia menanyakan perkataanku tanpa mengawalinya dengan salam atau basa-basi apa lah gitu. Hmm, sepertinya wanita ini memang cukup menarik karena perangainya yang cuek banget.
Ku jelaskan panjang lebar, ku katakan dia manja, tidak bersyukur dan suka mengeluh. Dia masih tidak terima. Lalu ku ceritakan pengalamanku dalam hidup, tentang kegagalan demi kegagalan yang aku alami, tapi tak membuatku menyerah dan malah meningkatkan semangatku untuk terus berusaha hingga berhasil. Aku juga menceritakan bagaimana keadaanku dulu, betapa susahnya aku, betapa merangkaknya aku.
Setelah ku ceritakan panjang lebar, sepertinya dia menyadari kesalahannya dan berterima kasih kepadaku.
Sejak saat itu, kami sering bertukar pendapat dan biasanya berujung kepada adu argumen yang cukup menarik. Ku pikir dia adalah mahasiswi yang cerdas, tapi agak cuek dan manja sehingga kurang giat dalam meraih tujuan.
Lama mengenalnya, aku semakin dekat dan terus mendukungnya untuk menyelesaikan skripsi dan wisuda. Berbeda dengan orang lain yang menyemangati melalui kata-kata bijak, aku malah mengejeknya hampir setiap hari dengan tujuan agar dia terpacu untuk membuktikan dirinya bisa dan mampu. Singkat cerita, dia lulus dan akhirnya wisuda.
Oh iya, aku hanya bertemu dengannya satu kali di kampus dulu, selama itu kami tak pernah bertemu sama sekali. Aku sibuk menjalankan usaha, dia sibuk meneruskan perjuangan skripsinya. Tapi akhirnya kami dipertemukan kembali.
Saat wisuda, dia mengundangku untuk datang. Yah, aku akan datang dan memberikan selamat dengan seikat bunga. Berbeda dengan kehadiranku yang dulu yang malas-malasan, kini aku datang dengan semangat karena dia punya daya tarik tersendiri. Aku datang jam setengah 8 dan tahukah kalian, aku menjadi tamu undangan spesial yang ikut hadir ke dalam ruangan karena dia hanya bersama ibunya. Rasanya agak kaku dan tidak enak saat itu, tapi aku mencoba tetap bersahabat dengan mereka.
Selesai wisuda, kami berfoto ria lalu makan bersama. Saat itu, ibunya banyak bertanya tentangku dan aku menjawab sebisanya. Yang membuatku kaget, si ibu lalu bertanya kepadaku, tentang keseriusanku dan kapan aku akan melamarnya. Aku benar-benar kaget dengan pertanyaan itu, begitu pula dengan respon wajah darinya. Kami berdua sepertinya sama-sama kaget dengan pertanyaan si ibu ini.
Setelah acara selesai aku pulang, sesampainya di rumah, dia mengirimkan pesan kepadaku dan meminta maaf atas perkataan ibunya. Ternyata ibunya mengira jika aku pacarnya dan sepertinya dia setuju denganku dan ingin agar aku segera menikahinya. Buset dah. Ketemu 2 kali, hubungan cuma melalui chatting dan isinya cuma ejek-ejekan, eh malah dikira pacaran dah.
Tapi aku memang cukup menaruh hati padanya dan aku mengungkapkan perasaanku, dia juga ternyata punya perasaan yang sama. Kami resmi bersama.
Pacaran seperti anak muda pada umumnya, kami jadi sering jalan berdua, makan-makan, pergi ke bioskop dan kegiatan lain berdua. Aku beberapa kali main ke rumahnya dan lebih dekat dengan ibunya, sementara dia juga pernah ku ajak ke rumah dan ku kenalkan dengan keluargaku. Dia yatim, ayahnya meninggal saat dia mengerjakan skripsi dulu hingga akhirnya gagal wisuda. Duh, jadi ngerasa bersalah karena dulu aku sempat mengatainya manja dan kurang bersyukur tanpa mengetahui masalah sebenarnya.
Singkat cerita aku melamarnya, tak berselang lama kami menikah dan aku tinggal di rumahnya bersama ibu mertua. Kami menjalani kehidupan rumah tangga yang tidak bisa dibilang harmonis karena suka ribut-ribut karena masalah sepele, tapi keributan kami bisa dibilang adalah bentuk kasih sayang yang berbeda. Jadi, saat kami ribut-ribut di rumah, ibu malah cuma ketawa melihat tingkah kami yang katanya mirip anak kecil.
Yah, cerita yang mungkin tidak menarik bagi orang lain, tapi sangat berkesan untukku dan istriku, serta kedua buah hati kami.
0 comments:
Post a Comment