Ditinggal Menikah Saat Sedang Merantau

Sudah sebulan ini kekasihku tidak ada kabarnya, nomornya tidak aktif, semua akun media sosialnya juga tidak ada pergerakan. Aku sangat khawatir, ingin pulang dan menemuinya, namun tanggung jawab pekerjaan membuatku harus kuat bertahan dengan kondisi ini. Aku harus kuat berjuang demi bisa mengumpulkan uang agar bisa segera menikahi kekasih yang telah 3 tahun bersama ini.

Menjelang tidur, aku sering merancang rencana indah. Uangku terkumpul dari hasil bekerja di kota orang yang jauh dari rumah, bisa membantu ekonomi keluarga dan tentunya aku ingin segera melamar kekasihku dan tak ingin berlama-lama aku harus menikahinya. Ah, rencana yang begitu indah. Ku rancang rencana ini hampir setiap malam dan tak merasa bosan sama sekali.

Malam itu aku merasa sangat lelah, mungkin karena pekerjaanku hari ini yang begitu berat. Namun anehnya, mataku susah terpejam. Aku sangat merindukan kekasihku, aku bertanya-tanya tentangnya. Berkali-kali ku telepon, tapi tidak aktif. Deretan chat yang ku kirimkan sejak lama juga belum dibaca sama sekali. Sedang apa dia, bagaimana kabarnya, apa dia baik-baik saja disana?

Tak terasa alarm sudah berbunyi, oh ternyata sudah pagi. Aku tak ingat tidur jam berapa, tapi rasanya masih kurang. Mataku melirik ke layar hape, ternyata ada notifikasi. Terlihat nama kekasihku, dia sepertinya mengirimkan chat.

Mataku yang tadi masih belum terbuka sepenuhnya, kini langsung fokus memandang layar hape. Aku sangat antusias dengan isi pesan darinya. Aku ingin menanyakan berbagai hal kepadanya dan tentunya mengungkapkan rasa rindu yang sudah lama ku pendam.

Perlahan ku buka kunci hape, ku baca pelan-pelan, aku merenung, mengucek mata, membacanya lagi, merenung lagi ...

"Mas, mohon maaf sebesar-besarnya.
Aku tidak bisa menepati janji untuk menunggumu.
Aku tahu ini salah, tapi keadaan yang membuatku harus tega melakukannya.
Hari ini aku akan menikah.
Selama sebulan ini, aku menghilang karena bingung harus memulai omongan darimana.
Aku takut kamu marah, kamu kecewa. maaf ...
Awal bulan aku kenalan dengan seorang pria, kami jatuh cinta.
Tak lama, ia melamarku dan orang tua langsung menerimanya.
Aku tak tega mengabarimu, namun aku juga tak bisa terus-menerus bertahan seperti ini.
Bukan maksudku menyalahkanmu. Tapi keadaan kita memang tak bersahabat.
Maafkan aku.
Aku mohon do'a restu darimu.
Mohon jangan hubungi aku lagi.
Terimakasih atas segalanya ..."

Hampir 10 menit aku masih membaca pesan ini berkali-kali, seakan tidak percaya dengan kenyataan saat ini. Aku menepuk pipi, ternyata sakit, ah ini bukan mimpi. Aku segera menghubunginya, namun sudah tidak aktif. Aku bingung. Sungguh pagi yang berat, tidak terkira sama sekali.

Teringat beberapa bulan yang lalu, ia mengantarku ke stasiun dan menangis saat aku melambaikan tangan. Dia tidak mau ku tinggalkan merantau, aku pun sama tak ingin jauh darinya. Tapi demi cita-cita untuk menikahinya, aku harus kuat. Bahkan, aku sudah berjanji untuk hidup hemat demi bisa mengumpulkan uang agar bisa segera menikahinya. Ia juga berjanji akan menungguku pulang, ah semua itu hanya kenangan, pahit!

Aku menangis, seperti kehilangan semangat, tak ingin melakukan apapun kecuali meratapi nasib. Aku tak peduli dengan apapun pagi ini, aku hanya berharap dia bisa ku hubungi dan ingin kutanyakan secara langsung perihal pesan menyakitkan ini. Namun sepertinya sia-sia karena ia sudah bersama pria lain dan aku ditinggal sendiri disini, di kota orang, jauh, tak bisa berbuat apa-apa.

Ibuku tiba-tiba menelpon, aku mengangkatnya dan berbicara seakan semuanya baik-baik saja. Tapi ternyata ibu sudah tahu, ia mendapatkan undangan pernikahan kekasihku pagi itu dan ia hanya menasehatiku agar aku sabar dengan kenyataan menyedihkan ini. Meski hati terasa perih, tapi aku tak ingin membuat ibu ikut sedih. Aku berusaha kuat dan menerima semua yang terjadi, meski sebenarnya benar-benar ambyar.

"Hey, bukankah kita sudah sejauh ini? Bukankah aku seorang yang setia? Bukankah kita sudah berjanji untuk berjuang bersama? Hey, apa salahku hingga kau tega menduakanku, saat aku jauh, berjuang untukmu? Hey!"

Tak tahu jam berapa, tiba-tiba ada yang mengetuk pintu. Ternyata teman kerjaku, dia datang ke kamar karena khawatir sebab tak melihatku bekerja hari ini. Ternyata sudah sore, waktu berlalu begitu cepatnya tanpa ku sadari.

Aku menceritakan kisah sedihku pagi ini, temanku mengerti kondisiku, dia hanya memberikan nasehat agar aku kuat karena hidup terus berjalan. Tadinya ku pikir aku sendiri, ternyata aku masih punya banyak orang baik, ibuku, saudaraku, teman-temanku, mereka semua adalah penyemangatku saat ini.

Memang benar, aku tidak boleh larut dalam kesedihan dan mau tak mau harus melupakannya. Aku harus terus menjalani hidup meski melalui jalur lain yang sangat berbeda dengan jalan awal yang ku rencanakan.

Sedih, memang sedih, tapi begitulah hidup!

Updated at: 7:59 AM

0 comments:

Post a Comment