Penyesalan Hidup Di Masa Tua yang Begitu Menyedihkan

Jika kalian pernah membaca atau mendengar sebuah kalimat yang mengatakan "nakal dulu mumpung masih muda", jangan pernah mengikutinya sama sekali. Itu hanyalah kata-kata yang akan menyesatkan hidupmu. Jangan sampai masa tua diisi dengan penyesalan yang mendalam, seperti kisah hidup si Mus ini.

Mus terlahir dari keluarga yang berkecukupan, ayahnya adalah orang yang dianggap ahli agama dan ibunya berasal dari keluarga yang terpandang, kakeknya punya banyak tanah, sudah naik haji dan secara ekonomi sangat berkecukupan, bahkan dianggap kaya.

Awalnya kehidupan mereka semua berjalan dengan baik tanpa ada masalah berarti, namun sayangnya mereka tidak terlalu mempedulikan masalah pendidikan. Baik Mus dan saudara-saudaranya tidak ada yang mengenyam pendidikan tinggi. Mereka semua hanya lulusan SD saja, padahal jika ingin sekolah tinggi tentunya ada modal yang cukup.

Prinsip keluarga ini adalah "siapa yang mau bekerja keras maka ia akan sukses".

Memang tidak ada yang salah dengan prinsip itum, namun sayangnya mereka tidak menyadari bahwa jaman terus berkembang dan ijazah serta ilmu pengetahuan begitu penting saat ini.

Perlahan tapi pasti Mus tumbuh menjadi remaja, ia disarankan untuk langsung bekerja apa saja asalkan bisa menghasilkan uang. Hingga akhirnya ia mengikuti teman-teman di lingkungannya yang merantau ke kota besar. Disana, Mus bekerja menjadi seorang kuli angkut dengan gaji yang pas-pasan.

Dengan pendidikan yang minim, pengetahuan yang pas-pasan serta sikap yang kurang menerima terhadap perkembangan jaman, Mus hidup tanpa arah yang jelas di perantauan. Yang ada di otaknya hanya bekerja keras, mendapatkan bayaran, lalu menggunakan gajinya untuk membeli keperluan hidupnya.

Bahkan karena ketidak tahuannya dan sikap yang kurang tanggap, Mus sering dirugikan teman-temannya. Entah dengan memberikannya pekerjaan yang bukan jatahnya, meminjam uangnya tanpa mengembalikan atau yang lain yang membuat Mus semakin terpuruk, namun ia tak menyadarinya.

Saat pulang ke kampung halaman pada saat lebaran, Mus tidak membawa banyak uang dan reaksi keluarganya terlihat kecewa dan mengira jika Mus tidak tekun dalam bekerja sehingga ia tak sukses seperti teman-teman yang lain. Hal ini membuat Mus semakin sedih, ketika ia sedang mendapatkan perlakuan yang kurang adil di tempat kerja, bukannya mendapat dukungan malah mendapat reaksi yang membuatnya semakin sedih.

Ternyata hal itu membuat Mus agak depresi hingga ia bergabung dengan teman-teman yang nakal. Mus keluar kerja dan memilih untuk menganggur di rumah, hidupnya hanya diisi dengan nongkrong bersama teman-temannya, tidak bekerja, begadang setiap hari dan tidak punya arah yang jelas.

Nasehat dari orang tua dan keluarga seperti tak ada yang ia dengar, ia benar-benar tengah menikmati masa muda dengan menghabiskan waktunya untuk foya-foya. Tak jarang ia juga melakukan kenakalan yang merugikan orang lain seperti mencuri. Hal itu membuat keluarganya juga menanggung masalah karena tindakannya menyebabkan keluarganya harus mengganti barang yang ia curi.

Melihat kelakuan Mus yang semakin menjadi, keluarganya akhirnya acuh dan tak begitu mempedulikannya.

Bulan demi bulan, tahun demi tahun terlewati, Mus hidup seperti itu terus menerus tanpa ada perubahan yang berarti. Teman-teman yang biasa nongkrong bersamanya mulai pergi dari hidupnya, ada yang merantau, ada yang bekerja dan ada pula yang belajar di pondok pesantren. Sementara Mus tetap saja bertahan dengan hidupnya yang tak jelas.

Usia Mus sudah mencapai 30 tahun, ia masih belum bekerja lagi dan menghabiskan hidupnya dengan malas-malasan di rumah. Keluarganya sudah tidak mempedulikannya lagi karena setiap kali dinasehati selalu marah dan balik memarahi.

Di usianya yang semakin bertambah itu, Mus tidak berfikir untuk menikah, padahal teman-temannya sudah menikah. Pergaulannya, sikapnya dan kehidupannya seakan semakin menjauhkan dia dari jodoh, bahkan untuk sekedar berbicara dengan wanita yang bukan keluarganya saja, ia sangat kaku dan tidak bisa mengimbanginya.

Di usia 35 tahun, Mus diajak temannya dulu untuk merantau kembali. Ia yang sudah mulai kebingungan karena tidak punya uang dan ekonomi keluarga yang dulunya berjaya namun kini sudah mulai turun dan kekurangan, akhirnya menerima tawaran itu. Ia kembali merantau di usia yang begitu terlambat, mengingat rekan seangkatannya sudah berkeluarga dan punya hidup yang cukup nyaman bersama anak dan istrinya.

Hanya beberapa bulan saja Mus merantau, kehidupan awut-awutan yang sebelumnya ia jalani ternyata begitu mempengaruhinya. Ia jadi malas bekerja dan lebih suka menghabiskan uang. Ia akhirnya memutuskan untuk kembali ke kampung halamannya dan berniat meneruskan hidupnya yang tidak jelas seperti dulu.

Kakeknya yang sudah tua sempat menasehati si Mus untuk menikah, mungkin si kakek berfikir jika cucunya menikah maka ia akan berubah. Namun si Mus malah marah dan tidak mempedulikan nasehat kakeknya itu. Ia merasa hidupnya sudah cukup, asalkan masih bisa makan, ia tak perlu bekerja dan yang ada di dalam pikirannya adalah sesuatu yang tidak jelas.

Kini usianya sudah 40 tahun, kakeknya sudah meninggal dunia, keluarganya kekurangan dari segi ekonomi, namun ia masih menjalani kehidupan yang sama seperti dulu. Keras kepala, tanpa arah dan tujuan yang jelas.

Suatu ketika ketika si Mus sedang kelaparan dan tidak punya uang, ia sendirian di pos ronda dan datanglah salah seorang tetangga. Lalu tetangganya berkata " Mus, kalau saja dari dulu kamu tidak hidup seenaknya, kalau saja dari dulu kamu mau mendengar nasehat orang, kalau saja dari dulu kamu mau mencari jodoh dan menikah, sepertinya hidupmu tak menyedihkan seperti ini".

Tak seperti sebelumnya, nasehat ini tidak dibantah di Mus dan ia rasakan kebenaran dari ucapan tetangganya itu. Ia mulai menyadari kehidupannya yang memmburuk, tidak jelas, awut-awutan dan tidak berguna. Ia ingin berubah, ia ingin memulainya dari awal, memperbaiki segalanya, namun dengan usia yang sudah kelewat, pengetahuan yang minim, sikap yang keras kepala dan kondisi yang tidak mendukungnya, si Mus hanya bisa terdiam dan tidak bisa menemukan jalan keluar dari masalah hidupnya itu.

Memikirkan kehidupannya, membayangkan teman-teman yang sudah menikah dan punya keluarga, merenungi apa yang sudah ia lakukan dulu, semuanya begitu menyedihkan hingga ia meneteskan air mata. Sayangnya ia tak bisa bergerak, dengan segala sikap dan kekurangannya itu, ia hanya bisa menyesali hidup.

Updated at: 5:07 AM

0 comments:

Post a Comment