Budi adalah seorang pemuda kampung yang tengah menjomblo, ia mulai gelisah melihat kawan-kawannya sudah menikah. Melihat kenyataan hidup yang mulai menyudutkannya, Budi berinisiatif untuk mencari pendamping hidup. Ia mulai melakukan pencarian dengan berbagai cara, mulai dari kenalan langsung, minta dikenalkan dan bahkan meminta bantuan kepada orang tua yang punya banyak relasi.
Keinginan Budi untuk segera menikah sepertinya masih terhambat karena dari sekian banyak wanita yang coba ia dekati, hampir semuanya menolak untuk menikah dengan Budi. Ah, jangankan berbicara tentang pernikahan, terkadang ada saja wanita yang langsung buang muka ketika Budi baru hendak menyapanya.
Secara fisik, Budi adalah pemuda yang normal, meski kulitnya hitam dan telapak tangannya kasar, bekas kerja keras di proyek pembangunan. Melihat kondisi ekonominya, Budi hidup berkecukupan namun masih mampu memenuhi kebutuhan hidupnya yang sederhana.
Entah apa yang salah dengan si Budi ini!
Berlalu sekian bulan sejak Budi berjuang mencari pendamping hidup, akhirnya Budi dekat dengan Siti, anak kampung sebelah. Perkenalan dengan Siti atas sumbangsih teman Budi yang mengenalkannya.
Budi melakukan pendekatan secara intensif, ia selalu menghubungi Siti hampir setiap saat, mulai dari pagi hari setelah ia bangun, siang hari kala istirahat kerja, sore hari kala sepulang dari tempat kerja dan malam hari sembari menemaninya menunggu rasa kantuk. Meski sangat bersemangat, namun sayangnya Siti hanya meladeni Budi alakadarnya saja.
Seminggu setelah pendekatan itu, Budi mengajak Siti jalan di malam minggu, namun ia menolaknya mentah-mentah. Budi juga beberapa kali meminta izin untuk ngapel ke rumah Siti, namun ditolak juga. Bahkan sekedar menelpon saja, Siti enggan menerimanya, seakan jijik dengan suara si Budi di telepon.
Pantang Menyerah!
Budi terus mendekati Siti, ia sering mengintai Siti di tempat kerjanya. Siti adalah seorang pelayan di toko pakaian yang berdiri megah di pasar dekat kampungnya. Budi punya hobi baru sepulang kerja, ia nongkrong di warung kopi dekat tempat kerja Siti. Tujuannya untuk melihat sang belahan jiwanya dan siapa tahu bisa bertemu dan akhirnya semakin dekat.
Perjuangan Budi terus saja mendapat halangan. Siti, yang kata temannya masih jomblo itu, susah sekali didekati. Sikapnya yang cuek dan pendiam membuat Budi kebingungan, harus dengan teknik apa lagi demi bisa mendekati Siti si pujaan hatinya itu.
Merasa mulai kehabisan akal, Budi nekat datang ke rumah Siti. Ia tak mengabarinya terlebih dahulu. Pikirnya, Siti pasti tetap akan mau menemuinya jika ia sudah di rumah. Namun nyatanya tidak seperti yang ia bayangkan. Siti tak mau keluar kamar untuk sekedar menemui Budi. Rasanya benar-benar getir.
Menyadari perjuangannya sangat sulit, akhirnya Budi melepaskan Siti dari targetnya untuk dijadikan pendamping hidup. Ia segera move on dan mencari pengganti yang lain. Singkat cerita, Budi akhirnya bisa mendapatkan calon istri bernama Astri. Keduanya cocok dan dalam waktu dekat akan segera menikah.
Kejutan terjadi seminggu menjelang pernikahan Budi dan Astri. Siti yang sebelumnya telah memblokir nomor Budi, tiba-tiba saja menghubunginya. Bukan melalui chat, namun langsung telepon dan meminta ketemuan berdua saja. Tentu saja Budi penasaran ada apa, kok tiba-tiba Siti mengajaknya bertemu berdua.
Budi mengiyakan ajakan Siti, keduanya bertemu di warung mie ayam. Sembari makan mie ayam, keduanya ngobrol canggung.
Budi : Siti, tumben ngajakin ketemuan, ada apa yah?
Siti : emm, katanya kamu mau menikah sama Astri yah?
Budi : kok kamu tau si?
Siti : iya, aku dikasih tau sama temen kamu.
Budi : iya, rencananya minggu depan mau nikah.
Tiba-tiba saja Siti menangis, membuat Budi kebingungan. Entah ucapan apa yang membuat gadis ini menangis.
Budi coba menenangkan Siti, kemudian menanyakan perihal yang membuatnya menangis. Dengan tersendu-sendu, Siti mengatakan bahwa ia merasa sangat kehilangan ketika mendengar Budi mau menikah. Siti juga meminta maaf karena dulu telah mengacuhkan Budi. Dan secara mengejutkan, Siti meminta Budi membatalkan pernikahannya dengan Astri dan Siti hendak menggantikannya.
Terjadilah pertempuran hati, Budi seperti kerbau yang dicocok hidungnya, ia tidak bisa memutuskan pikirannya untuk menanggapi permintaan Siti. Dari satu sisi, Budi pernah punya rasa untuk Siti, namun di sisi lain, Budi sudah punya Astri dan sebentar lagi mau menikah.
Budi duduk, terdiam, memikirkan dan menimbang keputusannya. Dengan mantap ia menolak Siti, ia tidak tega dengan Astri dan keluarga yang sudah mempersiapkan segalanya. Budi memang mencintai Siti, tapi itu dulu. Budi pun berkata "kenapa enggak dari dulu?"
Siti berlari sembari menangis, entah marah atau kecewa dengan keputusan Budi. Tapi keputusan Budi sudah tepat. Seminggu kemudian ia menikah dan Siti tak menghadirinya, padahal undangan sudah sampai ke tangannya. Entahlah.
0 comments:
Post a Comment