Aku adalah pria yang baru saja menikah dengan seorang wanita yang dijodohkan oleh orang tua. Usia pernikahan kami baru setengah tahun dan belum dikaruniai seorang anak. Nita nama istriku, ia tak bekerja dan menjadi ibu rumah tangga, seperti yang ku harapkan. Kami berdua saling mencintai, meski sebelum menikah tidak saling mengenal sama sekali. Yah, ini yang namanya jodoh.
Keseharianku diisi dengan bekerja di sebuah kantor, berangkat pagi pulang malam dan jarang sekali ngobrol dengan istri secara langsung. Secara ekonomi, kehidupan keluarga kecilku terbilang berkecukupan. Meski baru menikah, kami sudah menempati rumah kecil yang diberikan orang tuaku. Sepertinya kehidupan seperti ini diharapkan oleh banyak orang.
Namun bukan hidup jika tidak ada cobaannya.
Setelah 6 bulan menikah, Nita belum juga hamil dan itu membuatnya murung karena keluarga juga sering menanyakan perihal kehadiran anak pertama kami. Aku sebagai seorang suami sebenarnya tidak punya masalah jika memang belum dikaruniai anak, namun tidak dengan Nita yang semakin hari semakin bermasalah dengan keadaan ini.
Ia sering merasa sedih, kadang aku mendapatinya sedang melamun, apalagi ketika ada keluarga yang bertamu dan menanyakan tentang anak. Sepertinya istriku sudah sangat merindukan sosok si buah hati dan merasa belum sempurna menjadi seorang wanita.
Keadaan ini masih terus kami alami dan menjadi masalah yang lama-kelamaan semakin besar. Beberapa gesekan sering terjadi diantara kami yang saling mencintai, hanya karena alasan sepele saja. Istriku lama-lama jadi orang yang baperan, jika aku salah sedikit saja pasti akan membuatnya marah dan ngambek.
Tentu sebuah kondisi yang menyebalkan bagi kaum adam ketika mendapati kaum hawa yang dicintainya sedang ngambek, marah dan susah dimengerti.
Sikapnya terus berubah, Nita yang dulunya biasa saja kini sangat protective. Beberapa kali kami sampai bertengkar dengan alasan yang menurutku sangat diada-ada dan aneh. Pernah suatu kali aku pulang kerja, Nita bilang bajuku bau parfum wanita dan ia menduga jika aku selingkuh, padahal dia tahu jika aku tipe pria yang sangat setia dan jauh dari wanita - makanya nikahnya dijodohin - , namun kecurigaannya seakan lebih kuat ketimbang alasanku.
Suatu malam aku sedang tidur, tiba-tiba ia menangis dan marah-marah. Aku kaget dan bertanya alasannya. Ternyata gara-gara teleponku berbunyi dan ada nama Kiki, padahal Kiki itu seorang pria. Aku bahkan sampai menelpon kiki saat itu juga dan menyuruhnya menjelaskan kepada Nita.
Bahkan jika aku terlambat pulang diatas 10 menit saja, ia pasti langsung menghubungiku berkali-kali dan menanyakan keberadaanku, seakan tidak percaya lagi kepadaku. Apa Nita lupa kalau jalanan yang ku lewati sering macet? Ini benar-benar mengganggu hidupku akhir-akhir ini.
Aku yang sudah merasa jenuh dengan sikap istriku itu kemudian mengajaknya bicara serius. Aku menanyakan penyebab yang membuatnya cemburuan dan seakan tidak lagi percaya kepadaku. Dan sembari menangis sedih, Nita mengatakan bahwa ia ingin punya anak karena ia merasa sudah lama menikah dan belum juga dikaruniai anak. Ia takut aku akan meninggalkannya jika ia tak jua hamil. Ia takut keluarga meragukannya sebagai seorang wanita.
Aku langusng memeluknya, aku bisikkan kepadanya bahwa aku mencintainya apa adanya, meski jika Tuhan berkehendak bahwa ia tak bisa hamil sekalipun, aku akan tetap mencintainya dan berjanji tak meninggalkannya seperti yang ia bayangkan. Perlakuanku membuat Nita terlihat tenang dan berhenti menangis.
Semenjak kejadian itu, sikap Nita mmebaik dan tak seperti sebelumnya. Kami hidup tenang lagi seperti sebelumnya. Dan entah kenapa, tak berselang lama akhirnya Nita hamil dan kami pun merasa bahagia. Sepertinya mood seseorang memang berpengaruh dengan kesuburan yah.
9 bulan kemudian anak kami lahir dan setelah menanti lumayan lama, kami menjadi keluarga yang lengkap dengan kehadiran si buah hati. Rasa syukur selalu kami panjatkan kepada Tuhan yang maha Pemberi dan maha Pendengar akan keluh kesah kami selama ini.
Pengalaman yang cukup berharga, ada banyak alasan yang bisa membuat pasangan jadi seorang pencemburu - meski kita tidak melakukan penyelewengan di belakang -, salah satunya karena rasa takut kehilangan dan rendah diri karena kekurangannya.
0 comments:
Post a Comment