Aku menikah pada umur 25 tahun ketika masih dalam keadaan menganggur dan hidup serba pas-pasan di desa. Aku hanyalah anak seorang buruh tani yang berpendidikan rendah, aku tidak begitu mengikuti perkembangan jaman. Boro-boro punya smartphone terbaru yang harganya jutaan, handphone jadul berlayar kuning yang ku punya saja jarang diisi pulsa.
Faktor keuangan bukan alasan seseorang kesulitan jodoh. Seperti jalan hidupku ini yang bisa dibilang sangat beruntung. Di saat aku sendiri masih kesulitan dari segi ekonomi, ternyata aku sudah dipercaya untuk menjadi pemimpin bagi seorang wanita cantik yang tak lain adalah tetanggaku sendiri. Jadi ceritanya bapak mertuaku itu menyukaiku karena aku dianggap baik dan bertanggung jawab, ia tak mempermasalahkan keadaanku yang serba kekurangan. Dia menikahkan aku dengan putrinya dengan maskawin alakadarnya, pesta yang sederhana dan tamu undangan yang terbilang sedikit.
Singkat cerita aku sudah menikah 3 bulan dan kini aku hidup bersama istriku di rumah semi permanen, tepat di belakang rumah mertua. Hampir semua biaya pembangunan rumah ditanggung oleh mertuaku karena secara ekonomi keluarga istriku lebih mampu ketimbang keluargaku. Yah, aku hanya bersyukur diberikan rejeki berupa istri dan tempat tinggal, meski sebenarnya aku merasa malu sebagai seorang lelaki.
Tentunya aku punya keinginan untuk memenuhi kebutuhan keluargaku sendiri, namun karena memang belum mampu, mau tidak mau aku harus menerima uluran tangan mertua.
Istriku sendiri adalah wanita yang sangat penurut, jarang meminta sesuatu yang membebaniku dan tentunya ia adalah wanita yang sangat cantik. Begitulah aku menilai istriku sendiri, dan aku tidak peduli bagaimana orang lain menilainya.
Untuk memenuhi kebutuhan hidup, aku bekerja serabutan di desa. Apa saja aku kerjakan, yang penting bisa dapat uang dan memenuhi kebutuhan istriku. Ngomong-ngomong, pendapatanku tidak menentu, tergantung pekerjaan yang ku lakukan. Jika sedang jadi kuli panggul, aku bisa mendapatkan pendapatan sekitar Rp 50.000, 00 dalam satu hari, jika sedang menjadi kuli bangunan aku bisa mendapatkan bayaran hingga Rp 70.000, 00 dalam satu hari. Yah, aku hanya bisa bersyukur karena masih diberikan pekerjaan dan rejeki yang halal dan berkah.
Istriku adalah wanita yang sangat pintar dalam mengatur keuangan keluarga, ia bisa memilih pengeluaran yang memang diperlukan dan jika ada sisa uang pasti akan ditabung. Aku sendiri sampai heran, ketika wanita lain di sekitar berlomba-lomba membeli produk elektronik baru dan make up mahal, istriku seakan tidak tertarik sama sekali dan ia juga jarang mengeluhkan uang belanjaan yang aku berikan kepadanya.
Sekian tahun berlalu, kehidupan keluargaku berjalan dengan normal dan bahagia. Kami sudah dikaruniai 2 orang anak yang lucu dan menggemaskan. Rumah semi permanen hasil pemberiaan mertuaku juga sudah mulai berubah, perlahan aku mulai memagar rumahku dengan batu bata agar lebih kokoh dan patut ditinggali.
Waktu berlalu, berbagai pekerjaan ku jalani dan jalan rejeki membawaku untuk mencoba peruntungan menjadi seorang petani cabe. Awalnya aku diajari menanam cabai dengan cara yang baik agar cepat panen dengan hasil yang banyak. Aku memulainya dari kebun di belakang rumahku, setelah beberapa bulan akhirnya aku bisa merasakan panen pertama dan hasilnya terbilang sangat banyak untukku.
Karena hasil panen pertama lumayan bagus, aku menekuni usaha ini dan meluaskan lahan cabaiku di kebun sewaan milik tetangga. Perlahan tapi pasti, usahaku sukses dan kini aku menjadi salah satu petani cabai yang terpandang di desa. Hasil dari usahaku bisa ku gunakan untuk membiayai sekolah anakku, membeli motor, mobil, tanah, rumah baru dan berbagai barang lainnya. Aku juga bisa memberikan lapangan pekerjaan kepada tetanggaku yang setia menemani perjuanganku.
Hidup adalah cobaan. Begitu pula dengan kesuksesan yang aku dapatkan.
Saat aku berada di atas, tiba-tiba istriku sakit parah dan membuatnya hanya bisa istirahat di kasurnya saja. Dia terlihat sangat kurus, wajahnya pucat dan terlihat semakin menua. Aku merasa sangat sedih melihat keadaan istriku itu, namun sayangnya aku tak bisa berbuat apa-apa kecuali mencoba berbagai pengobatan demi kesembuhan istriku.
Sekian lama istriku hanya bisa istirahat di kasur, aku semakin merasa kehilangan gairah dalam hidup karena pendamping yang setia menemaniku seakan menghilang meski ia masih setia ada di sisiku. Saat-saat goyah itu benar-benar membuatku merasa kebingungan. Mungkin aku terlihat seperti pria galau yang telah patah hati.
Keadaanku sepertinya diperhatikan oleh banyak orang dan tak terlalu mengejutkan, beberapa wanita muda yang mengenalku sebagai seorang yang sukses mulai mendekatiku. Beberapa dari mereka bahkan secara terang-terangan ingin menjadi istri keduaku, karena mereka juga mengetahui keadaan istriku yang sakit-sakitan. Kondisi ini semakin rumit hingga terhembus kabar jika aku akan menikah lagi. Ternyata kabar burung itu sampai ke telinga istriku yang sedang dalam keadaan lemah, dia terlihat menahan kesedihannya meski tak ia tampakkan di hadapanku.
Bahkan dalam suatu kesempatan di malam yang tenang, istriku membicarakan gosip ini denganku dan dengan tangis kesedihan ia bahkan memberikan izin kepadaku jika aku hendak menikah lagi. Sungguh itu adalah situasi yang sangat menyedihkan, aku merasa begitu bersalah dan aku merasa telah menyakiti wanita yang sudah sekian lama setia menemani perjuanganku.
Dengan kondisi keuanganku yang sedang ada di atas, sebenarnya tak ada masalah jika aku ingin menikah lagi. Tentunya aku mampu dan istriku sudah memberikan izin kepadaku. Bukankah tidak ada masalah?!
Di tengah malam yang sangat sunyi aku keluar rumah, duduk di samping rumahku, memandang bulan dan menikmati angin malam yang semakin dingin. Aku berfikir keras tentang keadaan ini, aku memikirkan banyak hal, tentang usahaku, tentang kesuksesanku, tentang istri dan anak-anakku dan otakku seakan memutar kembali segala sesuatu yang telah aku lalui selama ini dimana aku berjuang bersama keluargaku itu.
Aku sudah mengambil keputusan terbaik setelah menimbang keadaanku saat ini.
Pagi-pagi buta aku mendatangi istriku yang masih tidur, aku duduk di sampingnya, memandang wajahnya yang terlihat semakin tua. Kali ini aku akan membicarakan sebuah keputusan yang telah ku ambil dan semoga ini adalah yang terbaik bagi kami semua.
Dengan mata yang berkaca-kaca istriku memperhatikanku saat aku mulai mengatakan keputusan yang ku katakan. Sudah ku putuskan. Aku tidak akan menikah lagi. Aku akan setia dengan istriku, apapun keadaannya. Ini adalah keputusan terbaik setelah aku menimbang pengorbanan istriku dan aku bukan orang yang lupa diri dengan masa laluku.
Mendengar keputusanku itu, istriku terlihat sangat bahagia, ia memelukku dan menangis sesenggukkan sembari terus meminta maaf karena tidak bisa melayaniku karena keadaannya. Aku pun tak kuasa menahan perasaan sedih itu dan aku pun ikut menangis.
Entah apa hubungannya, setelah kejadian pagi itu, tiba-tiba kondisi kesehatan istriku semakin membaik dan selang satu minggu kemudian ia bisa berjalan lagi, tenaganya pulih dan ia seakan kembali muda lagi, menampakkan kecantikan seperti sedia kala.
Aku benar-benar takjud dengan cara Tuhan menyembuhkan hamba-Nya, aku sangat bersyukur melihat keadaan istriku dan aku pun merasa bahwa aku telah melewati sebuah ujian hidup yang sempat membuatku bimbang selama beberapa waktu.
Setelah beberapa bulan, kami bersama-sama menjalani hidup normal seperti biasanya. Aku mengurusi bisnis yang semakin sukses dan istriku selalu ada di sampingku mendukung dan menemaniku.
Dalam suatu kesempatan di malam yang romantis, sebelum kami tidur untuk melepas lelah, istriku membisikkan kalimat yang membuatku tersenyum. Ia mengatakan bahwa aku telah memberikan hadiah terindah untuknya, yaitu sebuah kesetiaan.
0 comments:
Post a Comment