Aku adalah anak yang terlahir dari keluarga yang sangat sederhana, punya 2 kakak lelaki dan 1 kakak perempuan. Masa kecilku susah, tinggal di rumah semi permanen yang atapnya bocor, pakaian alakadarnya (beli baju baru kalau lebaran aja).
Makanan? Aku pernah tidak sarapan pagi karena orang tuaku tak mampu membeli makanan, mau ngutang sama tetangga sudah malu karena hutang yang kemarin belum dilunasi.
Apakah aku mengeluh dan menyalahkan takdirku? Tidak sama sekali! Aku menerima semua itu, bahkan sampai saat ini aku masih hidup sederhana, namun aku tak pernah menyalahkan apa yang sudah ditakdirkan oleh Tuhan.
Lalu apa yang sangat membekas di dalam hatiku sampai saat ini? Perlakuan diskriminatif dan pilih kasih dari orang-orang di sekitarku dan saudara-saudaraku yang masih aku ingat dengan jelas.
Oh iya, sebagai gambaran agar bisa membandingkannya, aku tumbuh dengan saudara sepupuku (sebut saja namanya Bento) yang seumuran denganku. Dia bernasib lebih baik, anak orang kaya, juragan di desa, hidupnya penuh dengan berbagai hal yang mudah. Mau beli mainan baru, tinggal minta bapaknya, langsung ada esok harinya.
Hidup jadi orang miskin itu susah, sengsara, makan hati, sedih, dan semua itu bukan karena aku kurang bersyukur dengan apa yang telah diberikan Tuhan. Namun semua itu karena perlakuan dari orang-orang di dekatku.
Aku masih ingat ketika jalan-jalan dengan pamanku bersama Bento di pasar, paman membelikan Bento mainan yang bagus dan mahal, sementara aku? Aku hanya dibelikan permen saja. Saat aku meminta mainan seperti Bento, paman membentakku. Pulangnya kami naik angkot yang penuh sesak, aku berdiri sepanjang jalan karena tak dapat tempat duduk, sementara Bento dipangku oleh paman, ketika aku duduk di pangkuannya, aku disingkirkan. Senista itukah aku paman?
Saudaraku yang lain merantau, kalau dia mudik pasti membelikan mainan untuk Bento, dan saat aku main ke rumahnya, mainan itu disembunyikan karena takut aku memintanya. Ok!
Ketika main bersama teman-teman di sekitar rumah, Bento selalu mendapat hal yang menyenangkan, tak ada yang berani menjahilinya, sementara aku? Korban bully!
Mereka selalu membangga-banggakan Bento dan keluarganya yang sukses, sementara aku dan keluargaku dipandang dengan sebelah mata. Mereka mungkin jijik dengan kondisi rumah kami yang alakadarnya, mereka bahkan enggan untuk mampir ke rumah kami, padahal kami selalu menerima tamu dengan baik dan menjamunya sebisa kami.
Perlakuan diskriminatif dan pilih kasih dari orang di sekitarku adalah teman di dalam pertumbuhanku, aku tumbuh dewasa dengan keadaan seperti itu. Di lingkungan para penjilat, di lingkungan mereka yang mendewakan harta dan dunia. Aku benar-benar tumbuh sebagai seorang pemberontak yang ingin mengubah semua itu.
Kini aku adalah orang yang sangat emosional ketika ada yang membeda-bedakan orang hanya karena hartanya. Aku merasakan hal itu, dan aku sangat membencinya!
Bukankah dunia terus berputar? Ada saatnya di bawah dan ada saatnya di atas? Mungkin saat ini memang iya, aku mengalami kehidupan yang lebih baik dari Bento, keluarganya mulai berantakan dengan berbagai hal yang terjadi.
Aku selalu menanamkan pelajaran keras dalam diriku, aku harus jadi orang sukses, aku tidak boleh pelit, jangan terlilit hutang, jangan mendewakan dunia, jangan diskriminatif, jangan mencela fakir miskin, jangan mendidik orang untuk curang, tidak melanggar hukum agama dan negara, dan berbagai hal lain yang bersifat idealisme.
0 comments:
Post a Comment