Perjuangan Seorang Tukang Becak Tua yang Membuatku Sedih & Malu

Kali ini saya akan menceritakan sebuah kisah yang saya alami sendiri, ini hanya pengalaman biasa ketika naik becak, namun entah kenapa saya dipertemukan dengan tukang becak spesial yang memberikan saya nilai kehidupan dari sisinya. Mungkin dalam kisah ini, saya termasuk orang yang tega, namun saya mohon agar kalian mengerti bagaimana keadaan saya dan bagaimana usaha saya untuk menghargai perjuangan orang lain sampai batas kemampuannya.

Pada suatu ketika saya bersama teman saya ingin menuju ke stasiun, pada saat itu kami membawa barang yang cukup banyak, 3 tas dan 5 kardus dengan isi penuh muatan yang tentu saja sangat berat. Kami menunggu angkutan di pinggir jalan selama berjam-jam dan tak ada satupun yang lewat, kami pesan gojek tak ada yang datang, grab nihil, taksi yang lewat bawa penumpang pula.

Pada saat itu kami sangat terburu-buru karena jadwal kereta yang sebentar lagi akan berangkat, dan cuaca siang itu sungguh panas sekali, bahkan saya yang hanya memakai kaos tipis sudah harus bermandikan keringat. Rasa haus dan lapar mulai kami rasakan, emosi mulai muncul pada jiwa egois kami, dan hampir saja kami putus asa dan hendak jalan kaki ke stasiun yang jaraknya sekitar 20 km.

Hingga tiba seorang tukang becak yang menawarkan jasanya, beliau adalah kakek tua yang menurut saya umurnya sekitar 50 tahunan. Tubuhnya kurus, wajahnya muram, dan kulitnya hitam terbakar mentari di jalanan. Saya dan teman saya awalnya mengabaikan tukang becak itu, bukan karena kami gengsi untuk naik becak, namun kami kasihan kepada kakek itu karena barang bawaan kami yang banyak, kami pikir dia tidak kuat membawa kami.

Namun tukang becak itu terus memaksa agar kami mau memakai jasanya, dia berkata kalau dia belum dapat penumpang hari ini, dan tentu saja saya merasa kasihan kepadanya. Saya kemudian bertanya, apakah kakek itu kuat membawa kami dengan barang bawaan yang banyak ini, beliau mengiyakannya dan wajahnya terlihat bersemangat. Akhirnya karena kasihan dan tidak ada angkot, kami memutuskan untuk naik becak yang dibawa kakek tua itu.

Kami duduk di depan dengan barang bawaan yang sangat banyak, saya sendiri memangku 2 tas dan 3 kardus, sementara teman saya yang gemuk membawa 1 tas dan 2 kardus kecil. Baru saja kami duduk, sang kakek kesulitan membawa becaknya, saya melirik ke belakang dan melihat wajahnya yang memerah karena memaksakan tenaganya, sungguh saya tidak tega melihat keadaan kakek tua itu.

Baru sekitar 20 meter berjalan, kakek itu berhenti dan menyuruh kami turun karena ternyata roda becaknya kempes dan harus dipompa terlebih dahulu. Sebenarnya kami sudah meminta agar tidak melanjutkan perjalanan ini, kami sudah akan membayar tukang becak itu dengan ongkos yang penuh meski tidak sampai tujuan, namun sang kakek agaknya marah karena merasa disepelekan, dia memaksa kami untuk tetap diantarkan ke tujuan.

Perjalanan berlanjut, memasuki jalan raya dan bisa ditebak kalau laju becak semakin lamban dan membuat kemacetan panjang. Saya melirik ke belakang dan ternyata banyak sekali mobil yang menunggu laju becak di depannya, mungkin dalam hati para sopir itu dongkol, bukan kepada tukang becak namun kepada kami yang tidak tau diri. Sungguh saat itu saya sudah sangat malu, bahkan saya menutup muka saya karena keadaan ini dan rasanya saya ingin melompat ke luar saja dan berlari menjauhi kemacetan itu.

Jalanan yang dilewati semakin lama semakin menyiksa, awalnya jalanan lurus dan rata, kemudian berubah mennjadi jalanan berlubang dan menanjak. Di sebuah perempatan, bahkan becak tidak bisa bergerak karena salah satu rodanya terjebak di lubang jalan dan mobil di belakangnya terus saja membunyikan klakson mereka, Ya Allah saya ingin menangi saat itu.

Setelah di jalanan sepi, akhirnya sang kakek tua berhenti dan menurunkan kami, beliau duduk di pinggir jalan dan meminta maaf kepada kami, beliau mengaku sudah tidak kuat lagi mengayuh becaknya dan kami disuruh turun di tengah jalan. Sebenarnya kalau saja tukang becak itu bukan kakek tua, tentunya saya akan marah karena awalnya dia yang memaksa, namun saat ini saya benar-benar sedih dan hampir saja menangis melihat kakek tua itu yang sudah sangat lemas. Beliau bahkan tidak meminta upah kepada kami, beliau langsung saja pergi meninggalkan kami, namun saya berlari dan memberikan ongkosnya, malah kami tambahkan lagi uangnya.

Bingung di tengah jalan, saya dan teman saya duduk di trotoar di bawah teriknya sinar matahari siang itu, kami bingung mau bagaimana lagi karena tidak ada angkutan yang berhenti di situ. Sebenarnya saya lebih memikirkan tukang becak tadi, bagaimana perasaannya dan bagaimana keadaannya saat ini, mungkin dia malu karena tidak kuat, mungkin dia merasa bersalah, ah saya serba salah saat itu.

Hingga akhirnya datang bentor lewat, kami menghentikannya dan meminta mengantar kami ke stasiun. Dengan menggunakan bentor tentu saja jalannya lebih cepat dan tukang becaknya tidak terlalu kelelahan, dan akhirnya kami sampai di depan stasiun. Selesai membayar ongkosnya, kami langsung lari ke dalam dan  Alhamdulillah kami sampai tepat waktu sebelum kereta berangkat.

Dalam perjalanan di kereta saya banyak terdiam, saya mengingat wajah kakek tua penarik becak itu, semoga beliau selalu diberi kesehatan dan diberi rejeki yang melimpah dari Allah SWT. Mungkin kami sengaja dipertemukan dengan kakek tua itu agar kami senantiasa bersyukur dengan apa yang kami punya, karena nyatanya masih banyak orang yang nasibnya tidak seberuntung kami.

Updated at: 12:00 AM

0 comments:

Post a Comment