Hanya Aku yang Tidak Boleh Mengambil Raport SD

Saat itu aku berada di kelas 3 SD, masih polos dan belum mengetahui tentang masalah uang dan pembayaran sekolah dengan kepahaman yang baik. Aku tidak ingat kalau belum membayar SPP sekolah selama 6 bulan, dan kupikir itu bukan sebuah masalah karena aku masih bisa mengikuti ulangan akhir semester kedua untuk menentukan kenaikan kelasku.

Aku masih ingat hari itu adalah sabtu terakhir aku di sekolah karena pada hari itu adalah pembagian raport penentuan kenaikan kelas, tentu saja aku sangat bersemangat mengambil raport dan ingin segera mengetahui apakah aku naik kelas atau tinggal kelas. Aku duduk manis di bangku paling belakang, sendirian karena hanya aku yang tak punya teman sebangku, entahlah sepertinya teman kelasku tak menyukaiku.

Satu per satu nama teman-teman kelasku dipanggil dan diberikan raport berwarna merah tua, hampir semuanya tertawa riang dan ada yang sampai loncat-loncat karena bahagia mendapatkan ranking yang bagus. Setelah mendapat raport, mereka keluar kelas, hingga menyisakan aku seorang diri, namun bu guru diam dan tak memandangku sama sekali, hey bu guru, kenapa aku tak dipanggil?

Aku yang masih polos tidak berani bertanya, aku duduk termenung di dalam kelas, sementara ibu guru sibuk mencatat di depan kelas, beberapa teman-temanku melirik dari jendela dan pintu depan, mereka seakan bertanya kenapa aku belum mendapatkan raport milikku. Aku gemetar, jantungku berdebar kencang, wajahku mulai pucat menanti panggilan dari ibu guru.

Akhirnya ibu guru memandangku, dia berkata dengan dingin "kamu belum dapat raport ya?", aku menjawab dengan gemetar "iya bu guru", lalu beliau menjelaskan dengan sangat jelas dan tegas kenapa hanya aku yang belum mendapatkan raport. Ternyata aku menunggak bayaran SPP selama 6 bulan, dan itu menjadi masalah yang serius, katanya aku takkan diberikan raport jika aku tidak melunasi bayaran SPP pada hari itu juga.

Ibu guru dengan dingin meninggalkan ruang kelas, mengacuhkan aku sendirian yang penuh harapan ini, dan aku yang polos saat itu tak mampu menahan perasaan menyakitkan yang aku alami. Aku menangis, kecewa, aku ingin marah kepada orang tuaku, kenapa mereka tidak membantuku, mengapa mereka tak membayarkan uang SPP, kenapa?

Aku pulang ke rumah, di sepanjang jalan aku menangis tersedu-sedu, persetan dengan orang yang menanyakan keadaanku, kalian tidak tahu apa yang aku rasakan saat ini. Setelah dekat dengan rumah, aku berlari dengan penuh amarah, aku ingin memarahi ayah dan ibuku yang belum membayar SPP, namun sesampainya di depan pintu, aku melihat ibuku sedang tertidur di dapur, menunggui air yang sedang direbus, sementara ayah terlihat duduk bersandar pintu belakang, wajahnya lesu. Aku yang sudah berniat marah akhirnya tidak tega, aku kasihan dengan mereka, aku tahu mereka sedang punya masalah.

Tanpa memberi salam aku masuk ke kamar, ibuku mendengar aku masuk kamar dan beliau mengikutiku, lalu beliau bertanya "gimana nak, kamu naik kelas?", aku diam tak menjawab dan memalingkan wajahku. Ibuku sepertinya tahu keadaanku, dia diam sebentar menungguku menjawab, kemudian aku sudah tak bisa menahan kesedihan ini hingga aku menangis lagi, aku memeluk ibu dan menangis sejadi-jadinya, hal ini membuat ibuku ikut menangis, dan ayahku melihat dari pintu kamar, dia seorang pria yang kuat menahan air matanya, namun aku yakin hatinya hancur melihat anaknya sedih seperti ini.

Setelah tenang, aku menceritakan kejadian yang aku alami di kelas, aku menceritakan kalau hanya aku yang tidak diberikan raport karena menunggak bayaran SPP. Ibuku bukan orang yang acuh, tanpa memberitahuku dia segera saja datang ke SD menemui guruku. Sepulangnya dari SD, ibu tersenyum dan menunjukkan buku raport-ku, dia berkata "wah nak, kamu naik kelas 4 nih", aku tersenyum dan bangga karena naik kelas 4, aku memeluk ibuku.

Sekian lama aku tak tahu bagaimana cara ibuku bisa mengambilkan raport yang ditahan guruku, aku tahu saat itu ibu tidak punya uang untuk membayar tunggakan SPP 6 bulan. Namun setelah beberapa bulan, aku bertemu lagi dengan guruku, dia memanggilku ke ruangannya, ada apa lagi ini? Apa aku ditagih uang SPP lagi?

Guruku menyuruhku duduk dan beliau menceritakan kejadian dulu kala ibuku mengambil raport "kamu tahu? Dulu ibumu datang ke sekolah, dia meminta keringanan kepada ibu agar bisa mengambilkan raportnya, saat itu ibu guru berkata kalau ibumu harus melunasi SPP jika mau ambil raport. Kamu tahu nak? Ibumu bersujud memohon belas kasihan pada ibu guru, beliau berjanji akan melunasi kalau sudah punya uang, ibumu menangis meminta raport-mu nak. Ibu guru juga manusia, ibu punya hati nurani, ibu tak tega melihat kelakuan ibumu yang begitu hanya demi kamu. Ibu memberikan raport-mu secara cuma-cuma, urusan SPP sudah beres dibantu sama guru lain yang ikut menyumbang untuk melunasi SPP kamu."

Aku menangis sejadi-jadinya saat itu, ternyata aku adalah anak tidak tahu diri yang membuat ibuku merelakan harga dirinya hanya demi aku, iya aku, anak semata wayangnya yang nakal dan tak pandai sama sekali ini masih dibela mati-matian oleh ibuku!

Ibu guru kemudian menasehatiku agar tidak menyia-nyiakan perjuangan ibuku, aku disuruh belajar agar nilaiku bisa meningkat, aku juga disuruh untuk menaati perintah orang tua, menyayanginya, dan yang terakhir aku disuruh berterima kasih kepada guru-guru lain yang telah membantuku.

Updated at: 9:57 PM

0 comments:

Post a Comment