From Zero to Hero

Awal masuk ke sebuah klub amatir sepakbola saya adalah seorang anak kecil dengan fisik yang lemah, saya tidak bisa lari cepat dan tubuh saya tidak terlalu tinggi, ketika menendang bola rasanya tidak pernah ada tendangan yang tepat dan keras. Saya hanya menjadi seorang pemain muda yang diledek dan dihina oleh senior saya, saya ingat salah satu senior yang memiliki tubuh sangat kuat dan skill yang bagus, dia adalah andalan di tim kami, dan dia juga orang yang selalu menganggap saya lemah dan tidak pantas untuk ikut dalam tim sepakbola ini.

Sejak awal masuk tim inti, saya hanya menjadi seorang pemain cadangan, saya terkendala oleh fisik dan kualitas olah bola yang rendah, pelatih saya menganggap saya tidak berbakat dalam dunia sepak bola ini, saya semakin lama semakin berkecil hati. Namun inilah saya, inilah perjaungan saya dalam menggapai impian saya sebagai seorang juara.

Berbekal hinaan, cacian, dan segala kekurangan yang saya miliki, saya terus belajar dan belajar setiap hari, saya menguatkan fisik saya, kecepatan lari saya, dan tendangan saya, saya selalu berangkta lebih awal ketika latihan bola dimulai dan saya pulang terakhir, hal itu saya lakukan untuk menambah jam latihan saya sendiri. Sedikit demi sedikit saya mulai menguasai beberapa teknik, saya mulai mengimbangi beberapa pemain senior, dan saya mulai memahami keindahan dan teknik dalam bermain sepakbola. Usaha dan latihan selama bertahun-tahun mulai menunjukkan hasilnya, saya akhirnya menjadi seorang pemain inti di tim ini, saya mulai menjadi seorang pengatur serangan, saya adalah seorang play maker dan itulah yang saya inginkan. Pertandingan demi pertandingan yang saya ikuti mengajarkan saya arti sebuah pertandingan, kalah dan menang mengajarkan saya dalam hidup ini bahwa hasil bukanlah sebuah tujuan utama, berkali-kali kami mengikuti sebuah kompetisi dan selalu gagal entah di awal atau di tengah pertandingan. Salah satu kompetisi yang membuat saya sangat kecewa adalah ketika tim kalah di semifinal melalui adu tendangan penalti, rasanya saya ingin menanis saat itu, itu adalah kompetisi saya yang sangat membahagiakan karena kami bisa masuk semifinal sebagai kuda hitam.

Kompetisi kembali digelar, kami datang sebagai sebuah tim kuda hitam tanpa gelar dan diremehkan oleh banyak orang. Kami mulai pertandingan demi pertandingan dengan hanya bermodalkan semangat, maklum kami tidak memiliki skill bagus, kami hanya sebuah tim amatir yang tak memiliki pemain bintang ataupun permainan yang atraktif, dari awal pertandingan hingga pertandingan berikutnya kami menang dengan hasil adu penalti, dan itu membuat kami dianggap hanya beruntung, hingga kami masuk ke babak semifinal dimana kami ternyata bisa mengalahkan tim unggulan dengan skor 2-0, dan itu membuat kami masuk ke babak final dimana lawan yang kuat sudah menanti kami. Di partai final itu, rasanya saya sangat lelah, tim yang kami hadapi memiliki kerjasama yang sangat baik, kami hanya bisa bertahan selama pertandingan, tubuh saya hampir sudah tidak kuat untuk bergerak lagi karena lelah dan putus asa, kami seperti dipermainkan oleh mereka. Namun disaat saya hampir terjatuh, dengan sisa tenaga terakhir kami mampu melakukan sebuah serangan dan saat itu saya dengan tenaga terakhir bisa memberikan sebuah umpan yang segera disundul oleh penyerang tim kami dan membuat gol satu-satunya dalam pertandingan itu, saya seperti bermimpi, saya seperti ingin menangis, ini kemenangan kami, ini kemenangan saya sebagai seorang play maker, ini adalah cita-cita saya, kami seakan tidak percaya jika kami telah menjadi juara.

Perjuangan saya selama bertahun-tahun akhirnya membuahkan hasil dengan menjadi juara dalam kompetisi, dan yang membuat saya merasa bangga adalah saya bisa menyingkirkan senior yang dulu menghina dan merendahkan saya, posisinya menjadi milik saya, dan dia hanya menjadi seorang pemain cadangan. Roda itu berputar, dan seperti kata pendukung Lazio, hope never die...

Updated at: 11:10 PM

0 comments:

Post a Comment