Menikah Di Usia 40 Tahun

Menikah di usia 40 tahun mungkin adalah sesuatu yang sangat dihindari karena pada usia kepala 4 seharusnya sudah menjalani rumah tangga, memiliki anak, punya rumah sendiri, punya mobil, punya usaha yang maju, dan berbagai bayangan kesuksesan lainnya. Tapi itu hanyalah harapan dan tidak semua orang bisa seberuntung itu.

Aku sendiri baru menikah di usia 40 tahun dan istriku adalah gadis berusia 25 tahun, artinya ada perbedaan usia 15 tahun diantara kami. Tapi siapa yang tahu dengan jodoh dan alur hidup manusia? Semua itu adalah rahasia Tuhan dan kita hanya harus menjalani kehidupan yang sudah diatur Tuhan.

Kembali mengingat masa remajaku yang tidak seberuntung banyak orang. Aku adalah anak yang terlahir dari keluarga sederhana, pendidikanku hanya lulusan SMP saja. Sejak lulus SMP aku langsung bekerja serabutan hingga akhirnya memutuskan untuk merantau ke kota besar yang jadi magnet para perantau.

Aku bekerja sebagai kuli, lalu pindah jadi pelayan di rumah makan, pernah ikut jualan tetangga, hingga pernah juga jadi penjaga sekolah. Semua pekerjaan itu aku jalani dengan terpaksa karena butuh uang, meski penghasilan yang aku terima pas-pasan. Pernah aku merasa jenuh di perantauan dan memutuskan untuk pulang kampung, tapi hanya 1 bulan dan aku tidak bisa menemukan pekerjaan di rumah hingga akhirnya kembali merantau.

Mungkin aku adalah katak dalam tempurung yang terlalu menerima nasib. Tanpa terasa, aku sudah hidup di perantauan selama 18 tahun. Seingatku, aku mulai merantau pada usia 17 tahun dan ketika aku memutuskan untuk kembali ke kampung, saat itu usiaku 35 tahun. Dan keputusanku kembali ke kampung adalah karena aku baru sadar bahwa selama belasan tahun di perantauan, aku tidak bisa mengubah hidupku secara signifikan.

Singkat cerita aku nekat pulang kampung. Tidak tahu apa yang mau dikerjakan ke depannya karena tidak punya ijazah tinggi apalagi skill yang mumpuni. Kondisi itu semakin diperparah karena kondisi keluarga yang labil di urusan ekonomi. Aku yang sebelumnya sedikit membantu ekonomi keluarga, kini malah jadi beban bagi keluarga. Tapi, inilah keputusanku.

Sebagai gambaran, selama belasan tahun merantau hingga usiaku 35 tahun saat itu, tidak sekalipun aku menjalin hubungan serius dengan wanita. Bukannya aku tidak normal, bukan pula karena aku jelek, tapi aku memang punya sifat minder yang parah. Aku merasa tidak mampu dan tidak berani untuk sekadar memikirkan ke arah pernikahan. Hahahaha ... mungkin aku memang seorang pengecut yang payah.

Satu dua bulan di rumah, aku menganggur dan hanya berpangku tangan kepada orang tua dan saudaraku. Rasanya sudah tidak karuan, apalagi uang tabunganku mulai habis. Beberapa bulan kemudian aku coba ikut bekerja tetangga, tapi dengan tenaga yang minim dan skill yang jelek, aku tidak diajak lagi karena dianggap tidak kompeten. Sedih? Pasti.

Satu tahun pertama adalah ujian berat bagi seorang perantau kawakan untuk bertahan hidup di kampung sendiri. Aku yakin aku tidak sendiri dan ada banyak orang yang merasakan kondisi seperti yang aku rasakan.

Di tahun kedua, aku sudah punya usaha sendiri. Dengan modal pinjaman saudara dan ilmu yang ku dapatkan dari keluarga, akhirnya aku mulai menjalankan usaha sendiri dengan hasil yang lumayan. Singkatnya aku mulai bisa mapan di desa, setidaknya tidak jadi beban terus menerus bagi keluarga.

Dan disaat aku baru mulai berjalan, orang tua bertanya tentang pernikahan. Dan aku hanya diam seribu bahasa. Pikirku, bari saja aku mulai bisa memijakkan kaki di kampung sendiri, ini malah ditambah harus memikirkan pernikahan. Sifat minderku belum juga hilang dan selama di kampung aku pun masih tetap dengan kesendirianku.

Secara tidak langsung, orang tua ingin agar aku segera menikah karena usiaku memang sudah tidak muda lagi. Tapi masalahnya, aku benar-benar tidak punya modal untuk menikah, ditambah aku sendiri tidak punya calon.

Permasalahan baru yang sempat membuatku pusing hingga bahkan demam.

Sebenarnya aku beruntung karena beberapa teman dan saudara mengenalkanku dengan wanita pilihan mereka. Tapi dari sekian wanita yang dikenalkan, tidak ada satu pun yang mau. Entahlah, mungkin karena aku miskin, mungkin karena aku bukan orang pandai, atau mungkin karena usiaku yang hampir mencapai kepala 4 saat itu.

Dan penolakan demi penolakan yang aku alami selama beberapa waktu dengan beberapa wanita berbeda malah membuatku semakin minder dan hampir saja aku putus asa.

Aku ingat, kala itu usiaku 39 tahun karena beberapa hari yang lalu aku seharusnya berulang tahun. Meski tak pernah sekalipun aku merayakan ulang tahun. Bahkan, mungkin hanya aku seorang yang mengingat hari ulang tahunku. Ah, aku memang payah dalam urusan sosial.

Dalam kondisi yang hampir putus asa dan tekanan yang semakin menyebabkanku malas menjalani kehidupan yang seakan memojokkanku. Dan tiba-tiba keajaiban datang begitu saja. Setelah berkali-kali mencari jodoh dan menerima penolakan yang membuatku sampai enggan berkenalan lagi dengan wanita baru, tiba-tiba ada kakek tua yang datang ke rumahku.

Tanpa basa-basi dia menjodohkan anaknya denganku. Siapa yang tidak kaget coba?!

Jadi si kakek itu adalah tetangga jauhku. Dia orang yang lumayan terpandang dari keluarga kaya karena dikenal sebagai salah satu juragan tanah di kampungku. Tidak ada angin tidak ada hujan, dia datang ke rumahku dan memintaku untuk menikahi putri terakhirnya. Ya Tuhan, kenapa jalan hidup yang kau berikan begitu tidak tertebak?!

Orang tuaku langsung menyetujui. Aku tidak bisa menolak karena tidak ada alasan logis untuk menolaknya. Aku pun tidak terlalu mempermasalahkan bagaimana sifat dan rupa calon istriku, karena sebelumnya aku tidak mengenalnya sama sekali. Tapi kalau kata tetangga, anaknya jarang bergaul dan secara umum dia dikenal baik dan pendiam.

Sekilas tentang perjodohan aneh ini. Ceritanya si kakek yang nantinya jadi mertuaku ini punya beberapa anak dan tinggal satu yang belum menikah, yaitu si bontot yang dikenal pemalu dan jarang bergaul itu. Nah, orang tuanya berinisiatif menjodohkan denganku yang menurut penilaiannya aku dikenal sebagai orang yang pekerja keras dan bertanggung jawab. Yah, entahlah. Kenapa ada orang yang menilai aku sebagai pekerja keras, padahal aku merasa sebagai seorang pemalas. Rahasia Tuhan.

Tidak butuh waktu lama, akhirnya aku menikah dengan seorang gadis yang dijodohkan oleh ayahnya sendiri. Aku hanya bisa bersyukur dengan pemberian Tuhan yang tidak terduga. Semua biaya pernikahan ditanggung oleh saudara dan orang tuaku. Mereka tahu bahwa aku tidak punya uang dan mereka tidak mau mempermalukanku dengan menanggung semua biaya pernikahanku.

Sedih, haru, malu, bahagia, sumringah dan berbagai perasaan bercampur padu hari itu. Yah, akhirnya aku menikah ketika usiaku mencapai angka 4. Menikah dengan seorang wanita yang jauh lebih muda dariku.


Updated at: 5:41 AM

0 comments:

Post a Comment