Betah di Perantauan Hingga Lupa Kampung Halaman

Merantau bukanlah pilihanku sejak kecil, namun karena keadaan ekonomi yang mencekiklah yang membuatku harus meninggalkan rumah sederhana penuh kenangan, keluarga yang hangat dan teman-teman yang selalu membuatku bisa menertawakan pahitnya hidup ini. Yah, aku harus merantau demi masa depanku karena di kampung sungguh menyedihkan jika dipandang dari segi ekonomi.

Awalnya aku sangat menyesal datang ke kota, suasana bising dan orang yang cuek membuatku ingin pulang kampung. Bahkan aku sempat berfikir untuk nekad kabur dari tempat kerjaku demi bisa pulang ke kampung halaman. Itu adalah situasi yang aku alami di seminggu awal kehadiranku d kota metropolitan.

Namun demi masa depan yang katanya cerah, aku terus menguatkan diri untuk tahan di tempat ini. Aku harus bekerja keras, menghemat pengeluaran dan menabung uang sebanyak-banyaknya. Aku punya orang tua yang sedang menunggu kabar baik, aku punya tanggung jawab terhadap sekolah adik-adikku dan aku harus bisa membuktikan kepada tetangga bahwa aku mampu untuk sukses.

Hari demi hari ku lalui di tempat kerja, semakin banyak pula teman-teman yang ku kenal, hingga akhirnya aku pun mulai merasa nyaman di tempat ini. Meski begitu rasa rindu kepada segala yang ada di kampung halaman masih terasa di hatiku. Aku ingin cepat-cepat pulang ke rumah, melihat wajah ibuku, mencium tangan bapakku, bercanda dengan adik-adikku dan begadang dengan teman-temanku.

3 bulan berlalu dan aku sudah punya tabungan yang lumayan banyak, rasanya bahagia banget bisa memegang uang sebanyak ini karena selama aku hidup di desa, tak pernah aku memiliki uang sebanyak ini. Jangankan memiliki, memegang pun aku belum pernah. Yah, kalau ku pikir hidup di desa memang butuh banyak sabar karena susahnya mencari penghidupan yang layak.

Sore ini aku sedang menunggu bus di terminal, aku punya 3 hari libur dan tak ku sia-siakan momen ini. Uang ada, hari libur ada dan saatnya aku pulang ke kampung halaman. "Hmm, bagaimana keadaan mereka di desa yah?" gumamku dalam hati.

Aku sudah duduk manis di jok no 2 dari belakang, di sebelahku ada seorang bapak-bapak yang ternyata tetangga kecamatanku. Kami cukup asik ngobrol di sepanjang perjalanan hingga aku tak menyadari sudah setengah perjalanan pulang. Bus mampir di rumah makan, banyak penumpang turun namun aku tetap di bus, meikmati bekal makanan yang ku bawa.

Tengah malam aku sampai di terminal kotaku, ku pesan ojek pangkalan dan segera menuju ke rumahku yang berada di desa. Hmm, rindu ini semakin berat saat ku lewati jalanan yang di sampingnya terhantar sawah-sawah subur milik tetangga. Udara sejuk yang ku hirup seakan membawaku terbang ke angkasa, menikmati alam semesta raya dan aku bersyukur kepada Tuhan yang Esa.

Setelah membayar ongkos ojek, aku mengetuk pintu rumahku dan ibu membukakan pintu. Terlihat raut wajahnya yang bahagia melihat anak sulungnya pulang ke rumah. Dia langsung mempersilakan aku masuk, dipanggilnya si bapak dan adik-adikku yang tengah tertidur pulas. Mereka semua tersenyum bahagia melihat kedatanganku, yah momen spesial dalam hidup.

Hari-hari di kampung begitu menyenangkan, aku bisa berkumpul dengan keluarga, begadang bersama teman-teman, menikmati segala hal yang memenuhi masa kecilku dulu. Situasi ini sempat membuatku terlalu betah dan muncullah keinginan untuk tidak kembali ke kota dan memilih hidup di desa yang damai. Namun tekadku sudah bulat, aku harus sukses dan kota adalah pilihannya.

Dengan langkah yang berat ku paksakan untuk kembali ke kota.

Hari terus berganti, tak terasa sudah setahun aku di kota dan kini aku sudah merasa nyaman berada di tempat ini. Aku juga sempat pulang kampung 2 kali saat libur nasional, mengunjungi keluarga dan teman-temanku di desa. Namun entah kenapa, kini aku tak terlalu rindu untuk kembali ke desa dan bahkan rasanya agak malas jika harus kembali ke desa.

Aku semakin menikmati kehidupa kota, apalagi setelah aku mengenal berbagai hal di sini. Mulai dari tempat belanja yang menyediakan barang berkelas, kecanggihan teknologi, tempat hiburan dan gaya hidup yang penuh dengan hingar bingar. Ini adalah salah satu momen yang membalikkan hidupku, membuatku mulai melupakan darimana asalku dan memaksaku untuk tetap di sini.

Ke depannya aku tak pernah melihat kalender lagi untuk mencari hari libur demi bisa pulang kampung, bahkan ketika orang tuaku menghubungiku untuk pulang kampung karena saudara hajatan, aku malah berbohong sedang ada kerjaan disini. Padahal aku hanya malas pulang dan lebih memilih untuk menghabiskan hari libur bersama teman-teman di kota.

Selang beberapa tahun aku hidup di kota, aku mulai melupakan desaku tercinta dan bahkan aku sudah jarang sekali pulang ke rumahku sendiri. Dalam waktu setahun, aku hanya menyempatkan waktu 2-3 hari saja untuk pulang ke kampung, itu pun saat lebaran saja karena ku pikir tidak patut jika aku lebaran di kota tanpa keluarga.

Yah lama kelamaan aku benar-benar betah di kota dengan segala yang ada hingga aku lupa kampung halamanku sendiri. Entah apa yang terjadi beberapa waktu ke depan, apakah aku akan menetap disini atau aku akan nekat kembali ke desa untuk hidup kembali seperti dulu, meski tak sama lagi.

Ku pikir aku bukan satu-satunya yang mengalami keadaan seperti ini, bukan?

Updated at: 4:47 AM

0 comments:

Post a Comment