Kehidupanku saat ini rasanya seperti seorang pembalap yang sedang berada di lap terakhir, dan aku berada di depan memimpin balapan, garis finish sudah mulai terlihat dan dengan keyakinanku, dalam hati aku berkata dengan agak sombong "ini adalah kemenanganku", namun ternyata Tuhan punya rencana lain untukku. Simaklah kisah berikut ini, semoga bisa menjadi pelajaran bagi kita semua :
Aku adalah seorang pria berumur 28tahun, aku bekerja di PT KAI, masih menunggu surat pengangkatanku sebagai karyawan tetap, yah menurut kabar dari kantor mungkin minggu depan SK itu sudah turun dan tentu saja aku menyambutnya dengan gembira karena aku sudah berniat memasukkan SK itu ke bank sebagai jaminan pinjaman, dan tentu saja aku akan mendapatkan gaji yang lebih besar. Oh iya, aku kini memiliki seorang istri yang tengah mengandung, dia adalah seorang guru bakti yang sedang menunggu pengangkatan sebagai PNS, dan kini dia sedang mengambil cuti melahirkan. menurut dokter, anak pertamaku akan lahir sekitar satu minggu lagi, sebuah kabar gembira untuk kami.
Dalam jangka waktu satu minggu itu, aku rajin bekerja agar cepat mendapat SK sebagai pegawai tetap, dan aku selalu siaga menemani istriku yang akan melahirkan. Yah hari-hari yang kami lalui rasanya menyenangkan karena kami akan menyambut rejeki dari Tuhan sebentar lagi. Aku dan istriku sudah mulai memilih-milih nama yang cocok untuk anak pertama kami, dan beberapa nama sudah kami pilih, yah tinggal menunggu si jabang bayi lahir saja.
Pagi itu istriku bangun lebih awal dari biasanya, dia mengeluhkan rasa sakit di perutnya, aku pikir dia akan melahirkan lebih cepat dari perkiraan dokter, jadi aku segera mengantarkan istriku ke dokter kandungan langganan kami. Sesampainya di sana, dokter lalu memeriksa keadaan istriku, dan aku menunggu di ruang tunggu menyambut kabar gembira dari dokter, dan tak lama dokter keluar dengan muka yang serius, dia dengan berat hati memberitahukan bahwa anak dalam kandungan istriku telah meninggal dunia, DEGGGG!!! jantungku seakan berhenti mendengar kabar itu, aku lemas, tubuhku seakan tak bisa digerakkan dan tanpa sadar air mataku mulai menetes. Aku seakan tak percaya dengan apa yang dokter katakan, menurut dokter selama ini kandungan istriku baik-baik saja, namun ini seperti suara petir di teriknya siang hari, aku tak bisa langsung menerima keadaan ini, sungguh berat rasanya.
Beberapa saat aku hanya meratapi nasibku, aku seakan tak memiliki semangat lagi, untuk berdiri menghampiri istriku saja aku tak berdaya. Tapi dengan sisa tenaga yang ada, aku memaksa tubuh lemas ini untuk bergerak sekedar melihat keadaan istriku, aku sadar dia lebih terpukul dan aku sebagai suami yang harusnya ada di sampingnya untuk menghiburnya. Aku datangi ruangan itu, dan aku semakin lemas melihat keadaan istriku, dia terdiam, matanya memandang kosong dengan air mata yang membasahi pipinya, wajahnya datar dan hampir tanpa ekspresi. Saat aku menyapa dan menanyakan keadaannya, dia hanya menoleh dan menangis lagi, "Ya Tuhan rasanya berat sekali keadaan ini harus kami alami". Aku segera memeluk istriku dan mencoba menenangkannya agar dia bisa sedikit tenang.
Setelah istriku sedikit tenang, aku langsung menemui dokter untuk menanyakan penanganan istriku, dan dokter memberitahukan bahwa istriku harus melakukan operasi caesar yang membutuhkan biaya yang cukup banyak menurutku. Dalam hati, aku merasa ini adalah ujian yang cukup berat, aku sudah tak memiliki tabungan lagi, dan aku harus menyiapkan uang dalam jumlah banyak untuk melakukan operasi ini, mau tak mau aku harus meminjam uang untuk biaya ini.
Hampir satu minggu aku berada di rumah sakit menunggui istriku yang harus melakukan operasi caesar, dan bodohnya aku terlupa untuk meminta ijin di tempat kerjaku, aku terlalu meratapi nasib dan fokus dengan istriku hingga aku melupakan kewajibanku di tempat kerja. Setelah selesai di rumah sakit, aku segera pulang bersama istriku dengan kesedihan yang kami tahan, dan setelah istriahat sejenak, aku langsung menuju ke tempat kerjaku. Sesampainya di tempat kerja, aku mendapatkan kabar yang tak kalah buruknya, aku tak jadi mendapat pengangkatan karena aku tidak berangkat kerja selama satu minggu, atasanku tak mau tahu alasanku, walau aku sudah memberikan alasan tentang keadaan istriku, yah mau gimana lagi aku harus mengalah dengan sistem yang tak manusiawi ini, lagipula ini juga keteledoranku sendiri.
Kini aku harus bangkit, aku sudah kehilangan anak pertamaku, aku juga kehilangan kesempatan untuk menjadi pegawai tetap, istriku berubah, kini dia murung dan seakan tak ikhlas dengan apa yang dialaminya, hutangku bertambah untuk biaya operasi istriku kemarin, dan kini aku hampir tak memiliki uang lagi. Yah aku hanya bisa berharap, namun ternyata Tuhan-lah yang maha berkehendak, ini adalah pelajaran untukku bagaimana kekuasaan Tuhan yang sangat besar, aku mencoba untuk bangkit walau rasanya berat, tapi hidup memang harus terus berjalan.
0 comments:
Post a Comment